Hampir setiap negara, perguruan tinggi bersifat selektif dalam penerimaan mahasiswa barunya. Perguruan tinggi bersifat selektif karena empat alasan. Pertama, perguruan tinggi merupakan tempat menyiapkan calon-calon pemimpin masyarakat yang akan datang, sehingga pembuat kebijakan dan pemimpin perguruan tinggi menginginkan kepastian bahwa mahasiswa yang disiapkan untuk menduduki posisi penting di masa depan adalah individu-individu yang benar-benar bermutu sesuai dengan yang diharapkan. Kedua, kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi adalah semacam kesempatan yang "langka", hanya disediakan bagi mereka yang berhak mendapatkannya, yaitu mereka yang tergolong "bibit unggul" dari angkatan muda satu bangsa. Ketiga, "human talent", yaitu potensi yang dimiliki oleh para calon mahasiswa, adalah sesuatu yang sangat berharga yang tidak seorang pun bersedia menyia-nyiakannya. Keempat, pendidikan tinggi adalah salah satu upaya yang sangat mahal, sehingga harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1987 di negara berkembang dengan GNP kurang dari $1.075,00 per kapita per tahun, biaya pendidikan untuk seorang mahasiswa sama dengan tujuh kali biaya pendidikan siswa sekolah menengah dan 20 kali biaya pendidikan siswa sekolah dasar. Perbandingan ini semakin mengecil seiring peningkatan GNP, dengan perbandingan 1:4:7 (Klitgaard, 1987). Karena hal-hal inilah, seleksi mahasiswa baru selalu menjadi hal yang penting di setiap negara. Keputusan mengenai penerimaan atau penolakan calon-calon mahasiswa merupakan keputusan yang sangat bermakna bagi generasi mendatang suatu bangsa, karena peran penting pendidikan tinggi dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia. Sistem seleksi mahasiswa baru harus memiliki landasan yang kuat dari segi akademik, ekonomi, pendidikan, dan psikologi. Oleh karena itu, sistem penerimaan mahasiswa baru harus mempertimbangkan setidaknya empat hal: (a) kecermatan prediksi (prediction effectiveness), (b) efisiensi ekonomi (economic efficiency), (c) insentif belajar-mengajar (teaching-learning incentive), dan (d) keadilan (equity).
Kecermatan prediksi menunjukkan seberapa akurat sistem seleksi dapat membedakan calon-calon yang probabilitas keberhasilannya besar dari mereka yang probabilitas keberhasilannya kecil, jika diberi kesempatan belajar di perguruan tinggi. Seberapa tepat keputusan seleksi menerima calon berpotensi tinggi dan menolak calon berpotensi rendah adalah isu yang banyak dipersoalkan secara tradisional dalam seleksi calon mahasiswa baru, dan akan dibahas lebih lanjut. Efisiensi ekonomi terkait erat dengan kecermatan prediksi, namun dari segi pertimbangan "economic gain", peningkatan kecermatan prediksi memerlukan tambahan usaha, waktu, dan biaya. Pertanyaannya adalah apakah hal ini sepadan (worth) jika dilihat dari segi "social benefit and cost". Insentif belajar-mengajar menunjukkan bagaimana sistem seleksi calon mahasiswa baru perguruan tinggi memengaruhi perilaku belajar-mengajar di jenjang pendidikan di bawahnya. Umumnya, orang menganggap sekolah menengah sebagai persiapan masuk perguruan tinggi, sehingga pola seleksi masuk perguruan tinggi akan langsung berpengaruh terhadap pola kegiatan belajar siswa dan pola kegiatan mengajar guru di jenjang SMA. Upaya "bimbingan tes" di Indonesia dan negara berkembang merupakan perwujudan dari hal tersebut. Perhatian para guru dan siswa SMA tertuju pada ujian seleksi, dan bimbingan tes merupakan kegiatan yang memberi harapan kepada siswa SMA, bahkan ada yang secara "berkelakar" kurikulum yang efektif di SMA, terutama untuk kelas III, adalah kisi-kisi masuk perguruan tinggi. Keadilan atau equity merujuk pada pemberian kesempatan yang sama untuk belajar di perguruan tinggi kepada individu-individu yang memenuhi syarat. Aspek keadilan ini adalah yang paling sulit diterjemahkan secara operasional, terutama karena setiap individu adalah anggota kelompok-kelompok tertentu. Klitgaard (1987) mencoba menerjemahkan equity. Novel kehidupan sehari-hari dalam "group representativeness" menunjukkan bahwa ketika orang berbicara mengenai kelompok, segera akan nyata bahwa kelompok itu sangat sukar didefinisikan (kecuali kelompok menurut jenis kelamin). Dapatkah golongan-golongan masyarakat menurut pekerjaan, penghasilan, kelompok etnik, kelompok agama, atau wilayah tempat tinggal digunakan sebagai dasar untuk menemukan "group representativeness"? Bagaimana pula golongan-golongan menurut "kualitas SMA" (berdasar sumber belajar)? Adakah calon yang lulusan Riau Kepulauan dan calon yang lulusan SMA di Jakarta atau Yogyakarta diperlukan sama? Bagaimana pula calon-calon dari daerah tertentu, seperti Timor Timur dan Irian Jaya? Bagaimana pula dengan mahasiswa asing? Pertanyaan-pertanyaan ini dan sejenisnya sangat sukar dijawab. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini biasanya terletak pada jenjang keputusan kebijakan (policy decisions), yang dibuat atas dasar pertimbangan yang sangat luas.
Hampir setiap negara, perguruan tinggi bersifat selektif dalam penerimaan mahasiswa barunya. Mengapa perguruan tinggi bersifat selektif? Sekurang-kurangnya karena alasan-alasan berikut: Pertama, perguruan tinggi merupakan tempat menyiapkan calon-calon pemimpin masyarakat yang akan datang. Karena itu, para pembuat kebijakan dan para pemimpin perguruan tinggi menginginkan "kepastian" bahwa para mahasiswa yang disiapkan untuk menduduki posisi-posisi penting pada masa yang akan datang itu adalah individu-individu yang benar-benar bermutu sesuai dengan yang diharapkan. Kedua, kesampaian untuk belajar di perguruan tinggi adalah semacam kesempatan yang "langka", yang karenanya hanya disediakan bagi mereka yang benar-benar berhak mendapatkannya, yaitu mereka yang tergolong "bibit unggul" dari angkatan muda satu bangsa. Ketiga, "human talen", yaitu potensi yang dimiliki oleh para calon mahasiswa, adalah sesuatu yang sangat berharga, yang tiada seorang pun yang bersedia menyia-nyiakan. Dan keempat, pendidikan tinggi adalah salah satu upaya yang sangat mahal, karena itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebagai ilustrasi, misalnya dapat disebutkan bahwa pada tahun 1987 di negara-negara berkembang yang GNP-nya kurang dari $1.075,00 per kapita per tahun, perbandingan biaya pendidikan seorang mahasiswa dengan biaya pendidikan siswa sekolah menengah dan dasar adalah 1:4:7, yang berarti $265,00 per kapita per tahun biaya pendidikan untuk seorang mahasiswa sama dengan tujuh kali biaya pendidikan seorang siswa sekolah menengah dan 20 kali biaya pendidikan seorang siswa sekolah dasar. Perbandingan biaya itu makin mengecil perbandingannya kalau GNP-nya antara $1.075,00 dan $2.500,00 per kapita per tahun. Karena hal-hal yang diuraikan di atas itulah maka seleksi mahasiswa baru selalu menjadi hal yang penting di setiap negara. Keputusan mengenai penerimaan atau penolakan calon-calon merupakan keputusan yang sangat besar maknanya bagi generasi mendatang suatu bangsa, justru karena peran yang sangat penting yang dipegang oleh pendidikan tinggi dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia.
Suatu sistem seleksi mahasiswa baru yang baik harus mempunyai landasan yang cukup kuat dipandang dari segi akademik, ekonomi, pendidikan, maupun psikologi. Karena itu, suatu sistem penerimaan mahasiswa baru harus mempertimbangkan sekurang-kurangnya empat hal, yaitu (a) kecermatan prediksi (prediction effectiveness), yang menunjuk kepada seberapa akurat sistem seleksi itu dapat membeda-bedakan calon-calon yang probabilitasnya berhasil besar dari mereka yang probabilitasnya berhasil kecil sekiranya mereka diberi kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi; (b) efisiensi ekonomi (economic efficiency), yang menunjuk hal yang berkaitan erat dengan kecermatan prediksi, akan tetapi dari segi pertimbangan "economic gain" seperti umum diketahui, pertambahan kecermatan prediksi perlu "dibeli" dengan tambahan usaha, tambahan waktu, dan tambahan biaya. Persoalannya apakah hal itu sepadan (worth) dilakukan kalau dilihat dari segi (social benefit and cost); (c) insentif belajar-mengajar (teaching-learning incentive), yang menunjuk kepada bagaimana sistem seleksi calon mahasiswa baru perguruan tinggi itu berpengaruh terhadap perilaku belajar-mengajar di jenjang pendidikan di bawahnya. Pada umumnya, orang menganggap sekolah menengah atas sebagai persiapan untuk masuk perguruan tinggi. Oleh karena itu, bagaimana pola seleksi masuk perguruan tinggi tentu secara langsung berpengaruh terhadap pola kegiatan belajar siswa dan pola kegiatan mengajar guru di jenjang SMA. Adanya berbagai usaha "bimbingan tes" di Indonesia dan Negara berkembang merupakan pengejawantahan dari hal yang dikemukakan di atas itu. Perhatian para guru dan siswa SMA tertuju pada ujian seleksi, dan bimbingan tes merupakan kegiatan yang memberi harapan kepada siswa SMA, bahkan ada yang secara "berkelakar" kurikulum yang efektif di SMA, terutama untuk kelas III, adalah kisi-kisi masuk perguruan tinggi; dan (d) keadilan atau equity, yang menunjuk kepada pemberian kesempatan yang sama untuk belajar di perguruan tinggi kepada individu-individu yang memenuhi syarat. Aspek keadilan ini adalah aspek yang paling sukar untuk diterjemahkan secara operasional, terutama karena setiap individu adalah anggota kelompok-kelompok tertentu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai "group representativeness" seperti pengelompokan masyarakat menurut pekerjaan, penghasilan, kelompok etnik, agama, wilayah tempat tinggal, atau kualitas SMA, serta perlakuan terhadap calon dari daerah tertentu seperti Timor Timur dan Irian Jaya atau mahasiswa asing, sangat sukar dijawab. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya terletak pada jenjang keputusan kebijakan (policy decisions), yang dibuat atas dasar pertimbangan yang sangat luas.